Fraud
(kecurangan)
Kecurangan (Fraud) sebagai
suatu tindak kesengajaan untuk menggunakan sumber daya perusahaan secara tidak
wajar dan salah menyajikan fakta untuk memperoleh keuntungan pribadi. Dalam
bahasa yang lebih sederhana, fraud adalah penipuan yang disengaja.
Hal ini termasuk berbohong, menipu, menggelapkan dan mencuri. Yang dimaksud
dengan penggelapan disini adalah merubah asset/kekayaan perusahaan yang
dipercayakan kepadanya secara tidak wajar untuk kepentingan dirinya. Fraud dapat
dilakukan oleh seseorang dari dalam maupun dari luar perusahaan. Fraud umumnya
dilakukan oleh orang dalam perusahaan (internal fraud) yang mengetahui
kebijakan dan prosedur perusahaan.
Mengingat
adanya pengendalian (control) yang diterapkan secara ketat oleh
hampir semua perusahaan untuk menjaga asetnya, membuat pihak luar sukar untuk
melakukan pencurian. Internal fraud terdiri dari 2 (dua)
kategori yaitu Employee fraud yang dilakukan oleh
seseorang atau kelompok orang untuk memperoleh keuntungan finansial pribadi
maupun kelompok dan Fraudulent financial reporting.
Fraudulent
financial reporting adalah perilaku yang disengaja atau
ceroboh, baik dengan tindakan atau penghapusan, yang menghasilkan laporan
keuangan yang menyesatkan (bias). Fraudulent financial reporting yang
terjadi disuatu perusahaan memerlukan perhatian khusus dari auditor independen.
Penyebab fraudulent
financial reporting umumnya 3 (tiga) hal :
1. Manipulasi,
falsifikasi, alterasi atas catatan akuntansi dan dokumen pendukung atas laporan
keuangan yang disajikan
2. Salah
penyajian (misrepresentation) atau kesalahan informasi yang signifikan
dalam laporan keuangan
3. Salah
penerapan (misapplication) dari prinsip akuntansi yang berhubungan
dengan jumlah, klasifikasi, penyajian (presentation) dan
pengungkapan (disclosure).
Fraudulent financial reporting juga
dapat disebabkan adanya kolusi antara manajemen dengan auditor independen.
Salah satu upaya untuk mencegah adanya kolusi tersbut, maka perlu dilakukan
rotasi auditor independen dalam melakukan audit suatu perusahaan.
Proses fraud biasanya terdiri dari 3
macam, yaitu pencurian (theft) dari sesuatu yang berharga (cash,
inventory, tools, supplies, equipment atau data), konversi (conversion)
asset yang dicuri kedalam cash dan pengelabuhan / penutupan (concealment)
tindakan kriminal agar tidak dapat terdeteksi.
Unsur-unsur fraud antara lain
sekurang-kurangnya melibatkan dua pihak (collussion), tindakan
penggelapan/penghilangan atau false representation dilakukan
dengan sengaja, menimbulkan kerugian nyata atau potensial atas tindakan pelaku
fraud. Meskipun perusahaan secara hukum dapat menuntut pelaku fraud, ternyata
tidak mudah usaha untuk menangkap para pelaku fraud, mengingat
pembuktiannya relatif sulit.
Jenis-jenis fraud, yaitu :
1. Pemalsuan
(Falsification) data dan tuntutan palsu (illegal act). Hal ini
terjadi manakala seseorang secara sadar dan sengaja memalsukan suatu fakta,
laporan, penyajian atau klaim yang mengakibatkan kerugian keuangan atau
ekonomi dari para pihak yang menerima laporan atau data palsu tersebut.
2. Penggelapan
kas (embezzlement cash), pencurian persediaan/aset (Theft of
inventory / asset) dan kesalahan (false) atau misleading catatan
dan dokumen. Penggelapan kas adalah kecurangan dalam pengalihan hak milik
perorangan yang dilakukan oleh seseorang yang mempunyai hak milik itu di mana
pemilikan diperoleh dari suatu hubungan kepercayaan.
3. Kecurangan
Komputer (Computer fraud) meliputi tindakan ilegal yang mana pengetahuan
tentang teknologi komputer adalah esensial untuk perpetration,
investigation atau prosecution. Dengan menggunakan sebuah
komputer seorang fraud perpetrator dapat mencuri lebih banyak
dalam waktu lebih singkat dengan usaha yang lebih kecil. Pelaku fraud telah
menggunakan berbagai metode untuk melakukan Computer fraud .
Kecurangan pelaporan keuangan
biasanya dilakukan karena dorongan dan ekspektasi terhadap prestasi pengubahan
terhadap catatan akuntansi atau dokumen pendukung yang merupakan sumber
penyajian kerja manajemen. Salah saji yang timbul karena kecurangan terhadap
pelaporan keuangan lebih dikenal dengan istilah irregularities
(ketidakberesan). Bentuk kecurangan seperti ini seringkali dinamakan kecurangan
manajemen (management fraud), misalnya berupa manipulasi, pemalsuan, atau
laporan keuangan. Kesengajaan dalam salah menyajikan atau sengaja menghilangkan
(intentional omissions) suatu transaksi, kejadian, atau informasi penting dari
laporan keuangan.
Karakteristik Kecurangan :
a. Oleh
pihak perusahaan, yaitu :
· Manajemen
untuk kepentingan perusahaan, yaitu salah saji yang timbul karena kecurangan
pelaporan keuangan (misstatements arising from fraudulent financial
reporting).
· Pegawai
untuk keuntungan individu, yaitu salah saji yang berupa penyalahgunaan aktiva (misstatements
arising from misappropriation of assets).
b. Oleh
pihak di luar perusahaan, yaitu pelanggan, mitra usaha, dan pihak asing yang
dapat menimbulkan kerugian bagi perusahaan.
Faktor Pemicu Fraud :
1. Greed (keserakahan)
2. Opportunity (kesempatan)
3. Need (kebutuhan)
4. Exposure (pengungkapan)
Faktor Greed dan Need merupakan
faktor yang berhubungan dengan individu pelaku kecurangan (disebut juga faktor
individual). Sedangkan faktor Opportunity dan Exposure merupakan
faktor yang berhubungan dengan organisasi sebagai korban perbuatan kecurangan
(disebut juga faktor generik/umum).
a. Faktor
generic
·
Kesempatan (opportunity)
untuk melakukan kecurangan tergantung pada kedudukan pelaku terhadap objek
kecurangan. Kesempatan untuk melakukan kecurangan selalu ada pada setiap
kedudukan. Namun, ada yang mempunyai kesempatan besar dan ada yang kecil.
Secara umum manajemen suatu organisasi/perusahaan mempunyai kesempatan yang
lebih besar untuk melakukan kecurangan daripada karyawan
·
Pengungkapan
(exposure) suatu kecurangan belum menjamin tidak terulangnya kecurangan
tersebut baik oleh pelaku yang sama maupun oleh pelaku yang lain. Oleh karena
itu, setiap pelaku kecurangan seharusnya dikenakan sanksi apabila perbuatannya
terungkap.
b.
Faktor individu
·
Moral,
faktor ini berhubungan dengan keserakahan (greed).
·
Motivasi,
faktor ini berhubungan dengan kebutuhan (need), yang lebih cenderung
berhubungan dengan pandangan/pikiran dan keperluan pegawai/pejabat yang terkait
dengan aset yang dimiliki perusahaan/instansi/organisasi tempat ia bekerja.
Selain itu tekanan (pressure) yang dihadapi dalam bekerja dapat
menyebabkan orang yang jujur mempunyai motif untuk melakukan kecurangan
Gejala Adanya Fraud :
Fraud (Kecurangan)
yang dilakukan oleh manajemen umumnya lebih sulit ditemukan dibandingkan dengan
yang dilakukan oleh karyawan. Oleh karena itu, perlu diketahui gejala yang
menunjukkan adanya kecurangan tersebut, adapun gejala tersebut adalah :
1.Gejala
kecurangan pada manajemen :
· Ketidakcocokan
diantara manajemen puncak
· Moral dan
motivasi karyawan rendah
· Departemen
akuntansi kekurangan staf
· Tingkat
komplain yang tinggi terhadap organisasi/perusahaan dari pihak konsumen, pemasok,
ataau badan otoritas
· Kekurangan
kas secara tidak teratur dan tidak terantisipasi
· Penjualan/laba
menurun sementara itu utang dan piutang dagang meningkat
· Perusahaan
mengambil kredit sampai batas maksimal untuk jangka waktu yang lama
· Terdapat
kelebihan persediaan yang signifikan
· Terdapat
peningkatan jumlah ayat jurnal penyesuaian pada akhir tahun buku
2. Gejala
kecurangan pada karyawan/pegawai
· Pembuatan
ayat jurnal penyesuaian tanpa otorisasi manajemen dan tanpa
perincian/penjelasan pendukung
· Pengeluaran
tanpa dokumen pendukung
· Pencatatan
yang salah/tidak akurat pada buku jurnal/besar
· Penghancuran,
penghilangan, pengrusakan dokumen pendukung pembayaran
· Kekurangan
barang yang diterima
·
Kemahalan
harga barang yang dibeli
· Faktur ganda
· Penggantian
mutu barang
Pencegahan dan Pendeteksian Fraud :
Dalam mencegah dan mendeteksi serta
menangani fraud sebenarnya ada beberapa pihak yang terkait:
yaitu akuntan (baik sebagai auditor internal, auditor eksternal, atau auditor
forensik) dan manajemen perusahaan.
1. Corporate
Governance dilakukan oleh manajemen yang dirancang dalam rangka
mengeliminasi atau setidaknya menekan kemungkinan terjadinya fraud. Corporate
governance meliputi budaya perusahaan, kebijakan-kebijakan, dan
pendelegasian wewenang.
2. Transaction
Level Control Process yang dilakukan oleh auditor internal, pada
dasarnya adalah proses yang lebih bersifat preventif dan pengendalian yang
bertujuan untuk memastikan bahwa hanya transaksi yang sah, mendapat otorisasi
yang memadai yang dicatat dan melindungi perusahaan dari kerugian.
3. Retrospective
Examination yang dilakukan oleh Auditor Eksternal diarahkan untuk
mendeteksi fraud sebelum menjadi besar dan membahayakan
perusahaan.
4. Investigation
and Remediation yang dilakukan forensik auditor. Peran auditor
forensik adalah menentukan tindakan yang harus diambil terkait dengan ukuran
dan tingkat kefatalan fraud, tanpa memandang apakah fraud itu
hanya berupa pelanggaran kecil terhdaap kebijakan perusahaan ataukah
pelanggaran besar yang berbentuk kecurangna dalam laporan keuangan atau
penyalahgunaan aset.
8.
Fraud auditing (kecurangan auditor)
Fraud
Auditing (Audit Kecurangan) yang merupakan salah satu bidang tugas Auditor.
Perkembangan teknologi informasi, e-commerce dsb yang berpengaruh secara
langsung atau tidak langsung dalam operasional perusahaan telah membuka celah
baru bagi munculnya praktek-praktek fraud yang berakibat fatal bagi perusahaan.
Mengantisipasi hal itu maka Auditor Internal sudah seyogianya meningkatkan
kemampuan dalam mendeteksi dan mencegah timbulnya kecurangan tersebut serta
mencari solusi terbaik agar hal itu tidak terjadi.
Tugasnya ada 2 yaitu :
1.
Auditor Internal yang ingin memiliki landasan pengetahuan yang kuat di bidang
fraud auditing baik menyangkut pencegahan, pendeteksian ataupun dalam
investigasinya
2.
Operations managers yang ingin mengembangkan wawasan dan pengetahuannya dalam
pendeteksian dan pencegahan kecurangan
ETIKA
PROFESIONAL AUDITOR DAN STANDAR PROFESIONAL AKUNTAN PUBLIK
Etika
profesional diperlukan setiap profesi karena kebutuhan profesi tersebut akan
kepercayaan masyarakat terhadap mutu jasa yang diserahkan, siapapun orangnya.
Masyarakat akan menghargai profesi yang menerapkan standar mutu tinggi terhadap
pelaksanaan pekerjaan anggota profesinya, karena masyarakat merasa terjamin
akan memperoleh jasa yang dapat diandalkan. Begitu juga terhadap profesi
akuntan publik, kepercayaan masyarakat terhadap mutu audit akan menjadi lebih
tinggi jika profesi akuntan publik menerapkan standar mutu yang tinggi terhadap
pelaksanaan pekerjaan audit.
Bagi profesi
akuntan, etika profesional semacam ini dikenal dengan nama Kode Etik Akuntan
Indonesia. Anggota IAI yang berpraktik sebagai akuntan publik bertanggung jawab
mematuhi pasal-pasal yang tercantum dalam Kode Etik Akuntan Indonesia, termasuk
juga semua orang yang bekerja dalam praktik profesi akuntan publik, seperti
karyawan, partner, dan staf.
Sedangkan
Standar Auditing adalah suatu ukuran pelaksanaan tindakan yang merupakan
pedoman umum bagi auditor dalam melaksanakan audit. Atau dapat juga disebut
sebagai ukuran baku atas mutu jasa auditing. Standar auditing terdiri dari 10
standar dan semua Pernyataan Standar Auditing yang berlaku. Standar Auditing
dan beberapa standar serta pernyataan lainnya dikodifikasi dalam buku Standar
Profesional Akuntan Publik (SPAP) sejak Agustus 1994.
Standar
Auditing
A.
Standar Umum
1.
Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan
pelatihan teknis cukup sebagai auditor.
2.
Dalam semua hal yang berhubungan dengan penugasan, independensi dalam sikap
mental harus dipertahankan oleh auditor.
3.
Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan
kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.
B.
Standar Pekerjaan Lapangan
1.
Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus
disupervisi dengan semestinya.
2.
Pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian intern harus diperoleh untuk
merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan
dilakukan.
3.
Bahan bukti kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan,
pengajuan pertanyaan, dan konfirmasi sebagai dasar yang memadai untuk
menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.
C.
Standar Pelaporan
1.
Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai
dengan prinsip akuntansi berterima umum.
2.
Laporan audit harus menunjukkan keadaan yang di dalamnya prinsip akuntansi
tidak secara konsisten diterapkan dalam penyusunan laporan keuangan periode
berjalan dalam hubungannya dengan prinsip akuntansi yang diterapkan dalam
periode sebelumnya.
3.
Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali
dinyatakan lain dalam laporan audit.
4.
Laporan audit harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan
secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat
diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan, maka
alasannya harus dinyatakan. Dalam semua hal yang nama auditor dikaitkan dengan
laporan keuangan, laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai
sifat pekerjaan auditor, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikulnya.
Pengawasan kepatuhan dan penilaian
pelaksanaan kode etik serta SPAP oleh akuntan publik dilaksanakan oleh Badan
Pengawas Profesi di tingkat Kompartemen Akuntan Publik dan Dewan Pertimbangan
Profesi di tingkat IAI. Badan Pengawas Profesi --yang sekarang bernama Badan
Peradilan Profesi Akuntan Publik (BP2AP) dan berfungsi sebagai lembaga
peradilan tingkat I ini-- beranggotakan kalangan akuntan publik di Kompartemen
Akuntan Publik yang diusulkan dan diangkat oleh Rapat Anggota Kompartemen.
Sedang Dewan Pertimbangan Profesi yang sekarang bernama Majelis Kehormatan
beranggotakan tokoh-tokoh profesi yang dihormati dari berbagai kalangan
akuntan, pejabat Pemerintah, kalangan pemakai jasa akuntan, dan tokoh
masyarakat. Majelis ini diangkat oleh Kongres IAI dan bertanggung jawab kepada
kongres tersebut.
Fungsi dari Badan Peradilan Profesi
Akuntan Publik ini secara garis besar adalah mengawasi kepatuhan dan melakukan
penilaian pelaksanaan Kode Etik Akuntan Indonesia dan SPAP oleh akuntan publik.
Badan ini juga menangani pengaduan dari masyarakat menyangkut pelanggaran
akuntan publik terhadap Kode Etik Akuntan Indonesia atau SPAP. Kemudian jika
menemukan pelanggaran Kode Etik Akuntan Indonesia SPAP, Badan ini berwenang
untuk menetapkan sanksi kepada akuntan publik yang melanggar. Selain itu Badan
ini juga dapat mengajukan usul dan saran mengenai pengembangan kode etik
akuntan kepada Komite Kode Etik.
Tetapi jika terdapat akuntan publik
yang mengajukan banding atas keputusan sanksi yang dijatuhkan, maka kasus ini
kemudian ditangani oleh lembaga banding, yaitu Majelis Kehormatan IAI. Majelis
ini berwewenang untuk menangani semua kasus pelanggaran kode etik atau SPAP
pada tingkat banding dan menetapkan sanksi yang bersifat final.
Majelis ini dapat mengenakan sanksi
berupa pemberhentian keanggotaan sementara atau tetap. Tetapi Majelis ini
bertindak atas dasar pengaduan tertulis mengenai pelanggaran kode etik oleh
anggota IAI atau atas permintaan pengurus IAI.
Selain itu dalam rangka pengendalian
mutu kantor akuntan publik, IAI menyusun Sistem Pengendalian Mutu Kantor
Akuntan Publik, berupa pernyataan Standar Pengendalian Mutu. Dalam sistem
tersebut, pekerjaan seorang akuntan publik dapat direview oleh akuntan publik
lain atau institusi yang berwenang, yaitu BPKP sejak tahun 1983. Hal ini
disebut juga peer review. Dalam review ini setiap anggota IAI tidak boleh
menghalangi atau menghindari pelaksanaan review dari anggota lainnya yang
ditunjuk IAI atau instansi yang ditunjuk untuk itu, yaitu BPKP.
Tujuan dibuatnya laporan keuangan adalah
selain untuk alat pertanggungjawaban manajemen juga sebagai bahan pertimbangan
yang mendukung dalam pengambilan keputusan, tetapi dalam kasus ini manajemen
telah memanipulasi laporan keuangan, sehingga laporan keuangan yang dihasilkan
tidak menunjukkan kinerja perusahaan yang sesungguhnya.
Tujuan dibuatnya
laporan keuangan adalah selain untuk alat pertanggungjawaban manajemen juga
sebagai bahan pertimbangan yang mendukung dalam pengambilan keputusan, tetapi
dalam kasus ini manajemen telah memanipulasi laporan keuangan, sehingga laporan
keuangan yang dihasilkan tidak menunjukkan kinerja perusahaan yang
sesungguhnya.
Diduga terjadi manipulasi data dalam
laporan keuangan PT KAI tahun 2005, perusahaan BUMN itu dicatat meraih
keutungan sebesar Rp 6,9 Miliar. Padahal apabila diteliti dan dikaji lebih
rinci, perusahaan seharusnya menderita kerugian sebesar Rp 63 Miliar. Komisaris
PT. KAI, Hekinus Manao yang juga sebagai Direktur Informasi dan Akuntansi
Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Departemen Keuangan mengatakan,
laporan keuangan itu telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik S. Manan. Audit
terhadap laporan keuangan PT. KAI untuk tahun 2003 dan tahun-tahun sebelumnya
dilakukan oleh Badan Pemeriksan Keuangan (BPK), untuk tahun 2004 diaudit oleh
BPK dan akuntan publik.
Hasil audit tersebut kemudian
diserahkan direksi PT. KAI untuk disetujui sebelum disampaikan dalam rapat umum
pemegang saham, dan komisaris PT. KAI yaitu Hekinus Manao menolak menyetujui
laporan keuangan PT. KAI tahun 2005 yang telah diaudit oleh akuntan publik.
Setelah hasil audit diteliti dengan seksama, ditemukan adanya kejanggalan dari
laporan keuangan PT. KAI tahun 2005.
Pajak pihak ketiga sudah tiga tahun
tidak pernah ditagih, tetapi dalam laporan keuangan itu dimasukkan sebagai
pendapatan PT KAI selama tahun 2005. Kewajiban PT. KAI untuk membayar surat
ketetapan pajak (SKP) pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp 95,2 Miliar yang
diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak pada akhir tahun 2003 disajikan
dalam laporan keuangan sebagai piutang atau tagihan kepada beberapa pelanggan
yang seharusnya menanggung beban pajak itu. Padahal berdasarkan Standart
Akuntansi, pajak pihak ketiga yang tidak pernah ditagih itu tidak bisa
dimasukkan sebagai aset. Di PT. KAI ada kekeliruan direksi dalam mencatat
penerimaan perusahaan selama tahun 2005.
Penurunan nilai persediaan suku
cadang dan perlengkapan sebesar Rp 24 Miliar yang diketahui pada saat dilakukan
inventarisasi tahun 2002 diakui manajemen PT KAI sebagai kerugian secara
bertahap selama lima tahun. Pada akhir tahun 2005 masih tersisa saldo penurunan
nilai yang belum dibebankan sebagai kerugian sebesar Rp 6 Miliar, yang
seharusnya dibebankan seluruhnya dalam tahun 2005.
Bantuan pemerintah yang belum
ditentukan statusnya dengan modal total nilai komulatif sebesar Rp 674,5 Miliar
dan penyertaan modal negara sebesar Rp 70 Miliar oleh manajemen PT KAI
disajikan dalam neraca per 31 Desember 2005 sebagai bagian dari hutang. Akan
tetapi menurut Hekinus bantuan pemerintah dan penyertaan modal harus disajikan
sebagai bagian dari modal perseroan.
Manajemen PT. KAI tidak melakukan
pencadangan kerugian terhadap kemungkinan tidak tertagihnya kewajiban pajak
yang seharusnya telah dibebankan kepada pelanggan pada saat jasa angkutannya
diberikan PT KAI tahun 1998 sampai 2003.
Perbedaan pendapat terhadap laporan
keuangan antara komisaris dan auditor akuntan publik terjadi karena PT. KAI
tidak memiliki tata kelola perusahaan yang baik. Ketiadaan tata kelola yang
baik itu juga membuat komite audit (komisaris) PT. KAI baru bisa dibuka akses
terhadap laporan keuangan setelah diaudit akuntan publik. Akuntan publik yang
telah mengaudit laporan keuangan PT KAI tahun 2005 segera diperiksa oleh Badan
Peradilan Profesi Akuntan Publik. Jika terbukti bersalah, akuntan publik itu
diberi sanksi teguran atau pencabutan izin praktek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar