Lagi-lagi
aku telat membaca sebuah novel yang menurut saya bagus. Novel tersebut
‘Kronik Betawi’ karya mbak Ratih Kumala *sok akrab :D*. Novel tersebut
diterbitkan sejak tahun 2009 bahkan sebelum dibukukan, cerita tersebut
merupakan cerita bersambung di sebuah harian nasional yaitu Republika
periode Agustus – Desember 2008. Dan parahnya saya baru bertemu dan
membaca novel tersebut akhir tahun 2011!! *telat sekali kau dian -__-
Sekilas ketika saya membaca sinopsis di
sampul belakang novel ini, saya langsung tertarik. Saya memang menaruh
perhatian lebih dalam novel-novel bertema budaya, karena hal itu membuat
seolah-olah saya telah menjadi bagian dari budaya tersebut.
Okey kita langsung bercerita apa
sebenarnya isi novel tersebut. Novel ‘Kronik Betawi’ menceritakan
mengenai kehidupan tiga bersaudara asli kelahiran betawi. Ketiganya
memiliki keluarga masing-masing dengan permasalahan masing-masing.
Ketiganya adalah, Haji Jaelani, Haji
Jarkasi dan Juleha. Ketiganya mewakili permasalahan-permasalahan yang
terjadi di lingkungan masyarakat Betawi pada umumnya. Jaelani mewakili
kalangan masyarakat yang tanahnya terkena gusuran. Padahal tanah
tersebut merupakan tanah warisan dari babehnya (ayahnya). Adeknya yaitu
Jarkasi mewakili golongan masyaakat yang memiliki mata pencahariaan
pertunjukan Lenong. Akhirnya karena perkembangan zaman, pertunjukan
lenongnya semakin sepi orderan. Selain sepi mereka pun hanya dibayar
seadanya. Sementara adek mereka, perempuan satu-satunya, Juleha,
mewakili golongan perempuan Betawi yang mengalami poligami. Juleha
mewakili perempuan Betawi yang menolak adanya anggapan bahwa para suami
yang menikah lagi itu merupakan sebuah tradisi.
Ada banyak hal yang saya ketahui setelah
membaca novel ini. seperti misalnya Menteng yang sempat heboh pada saat
pemilihan presiden AS, Barack Obama karena sempat tinggal di sana. Siapa
sangka bahwa Menteng adalah nama buah, kemudian Bintaro adalah nama
pohon. Baik menteng ataupun Bintaro, saya menyangsikan kedua tanaman
tersebut masih ada di lokasi daerah tersebut. Kemudian nama daerah Kebon
Jeruk, dulunya memang banyak tanaman jeruk.
Membaca novel tersebut seperti
mengingatkan pada kenyataan seungguhnya. Misalnya saat anak tetangga
Jarkasi yang bernama Togar lebih menyukai musik Rock ‘n roll
dibandingkan gambang kromong yang biasa ia mainkan. Ini menggambakan apa
yang terjadi saat ini dimana tradisi sendiri seperi gambang kromong
mulai ditinggalkan anak muda negeri ini. Tidak hanya terjadi di betawi
di daerah-daerah lain pun juga tidak jauh berbeda.
Meskipun begitu tetap ada generasi muda
yang menyukai budayanya sendiri. Jika dalam novel tersebut diwakili oleh
sosok anak Jarkasi yaitu Edah. Edah sangat menyukai dan pandai menari.
Ia pun memiliki keinginan untuk menari ke luar negeri. Namun karena
keinginannya tersebut hampir saja ia menjadi korban perdagangan wanita
yang banyak diberitakan dan terjadi di negeri ini.
Novel tersebut diceritakan per tokoh,
terkadang seluruh tokoh dipertemukan jadi satu dalam cerita salah satu
tokoh. Membaca novel ini juga seperti belajar bahasa Betawi. Misalnya
kata Gue, elu, masup, kesian, anaknye heheheh,
Kalau mau memperoleh novel tersebut,
entahlah masih banyak ditemui di toko buku enggak ya, soalnya novel lama
si. Kalau tidak ya mungkin bisa kontak penulisnya saja di sini.
Yang jelas, novel ini menurut saya tetap relevan dibaca saat ini,
masaah yang menjadi latar belakang novel tersebut juga masih banyak
terjadi. Mungkin tidak hanya terjadi di betawi saja tetapi juga
tempat-tempat lain di negeri ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar